Senin, 30 Mei 2016

ustad gaul


jamaah dengan dialek dan intonasi yang khas selalu disebutkannya saat berdakwah. Siapakah dia?

Setiap pagi, Ustad Maulana dengan setia menyapa umat melalui tayangan dakwah Islam Itu Indah di

Trans TV.

Sosok ustad yg satu ini boleh dikata unik. Jenaka, murah senyum dan cepat akrab dengan siapa saja, baik

terhadap anak-anak, remaja, orang tua, maupun pejabat adalah karakternya.

Siapa saja, bisa mengajaknya berkomunikasi. Dijamin bisa langsung akrab dengannya. Maklum, ia tak

suka menjaga wibawa. Mungkin karena kelebihannya itulah ia kemudian akrab dipanggil Ustad Gaul. Ia

pun tak keberatan dengan sebutan Ustad Gaul.

Ustadz maulana sangat terkenal dengan lucu nya , ustad ini juga punya banyak teman dari kalangan

terkenal maupun tidak , seperti ustad solmed , mama dede , semua ustadz terkanal pasti kenal satu

sama lain.

Tentang Ustad Maulana

Nama: M Nur Maulana

Lahir: Makassar, 20 September 1974

Anak ke: keempat dari tujuh bersaudara

Ayah: Maulana

Ibu: Masyita

Pendidikan: Pesantren An Nahdah Makassar (lulus 1994)

Pekerjaan:

- Guru Agama Islam SD Mangkura

- Guru SD Islam Athirah

- Pesantren An Nahdah

Istri: Nur Aliah

Anak: Munawar

Alamat rumah: Jl Sibula Dalam No 15, Makassar.

Gaya Ceramahnya Dibanjiri Kritik Juga Pujian

CARA ceramah Ustadz Muhammad Nur Maulana yang ringan dan sering diselingi senda gurau dianggap

lebay. Bahkan di jejaring sosial, Nur Maulana dihujani kritik pedas yang memojokkan. Nur Maulana pun

menangis saat membaca kritik-kritik itu.

Dengan intonasi dan gerakan khas, Ustadz M Nur Maulana (37) menyapa jemaahnya di acara Islam Itu

Indah (Trans TV) dengan “Jamaah oh jamaah”. Panggilan yang tengah populer dan identik dengan ustadz

asal Makassar ini. Anak-anak hingga remaja gemar menirukan ucapannya.

Ada juga yang memanggilnya Ustadz “Jamaah oh Jamaah”. Namun gaya ceramahnya yang khas, ringan,

dan selalu diselingi senda gurau ini membuat Nur Maulana ini dihujani berbagai kritik di jejaring sosial.

Cara ceramah Nur Maulana dianggap lebay, kurang berwibawa dan maaf, kemayu.

Saat membaca semua kritik itu, Nur Maulana menangis karena banyak yang memojokkannya. “Saya

sampai menangis. Gaya ceramah saya memang seperti itu. Bahkan sejak kali pertama ceramah saat

kelas 1 SMP, gaya saya sudah seperti itu. Tidak ada yang dibuatbuat, seperti itulah karakter saya. Itu

semua juga tidak ada kaitannya dengan strategi saya dalam berceramah, saya ini memang suka

bercanda,” ucap Nur Maulana.

Kritik itu dijadikan cambuk oleh ayah yang kini tengah menanti kelahiran anak keduanya. Namun banyak

juga yang memuji cara ceramah Nur Maulana, yang dianggap telah membawa warna baru dalam dunia

ceramah. Meski ringan dan diselingi lelucon, materi ceramah Nur Maulana berbobot. Bahkan banyak

yang memuji pengetahuan agamanya yang luas.

Trans TV tidak mempermasalahkan gaya ceramah Nur Maulana. Malah dianggap bisa menciptakan

suasana santai dan tidak monoton.

“Selama ini, penceramah di Indonesia terkesan kaku, monoton, dan menggurui. Kami ingin memberikan

sesuatu yang berbeda dalam berdakwah. Lewat acara Islam Itu Indah kami menyuguhkan sesuatu yang

baru, ringan, dan segar di dalam dunia dakwah. Kritik yang menganggap Ustadz Nur Maulana lebay itu

berlebihan. Bertahun-tahun mengajar anak TK, SD, SMP telah membentuk karakter Ustadz Nur Maulana

seperti itu. Saya menilai, Ustaz Nur Maulana itu bukan lebay tapi childish,” urai Sunka Da Ferry, produser

Islam Itu Indah.

Strategi Trans TV berbuah manis. Cara Nur Maulana berdakwah menjadi daya tarik. Hasilnya, Islam Itu

Indah beroleh rating cukup bagus dengan share 22 tertinggi untuk acara sejenis.

Popularitas Nur Maulana pun melambung tinggi. Jadwal ceramah ayah Munawaroh (2) ini pun sudah

penuh hingga Januari 2012.

“Kritik perlahan-lahan berubah menjadi pujian. Pernah ada ibu-ibu yang berterima kasih karena anaknya

yang remaja mau mendalami agama Islam setelah menonton Islam Itu Indah. Itu semua bukan karena

saya, tapi karena Allah SWT. Islam itu memang indah,” ucap Nur Maulana.

Jama'ah Protes, Ban Motor pun Digembosi

SEJAK kecil Nur Maulana sudah bercita-cita menjadi seorang ustadz. Namun keinginan itu sempat pudar

ketika ayahnya meninggal dunia, saat ia berusia 7 tahun. Pada usia 9 tahun pria asli Bugis ini hidup

mandiri dan tidak pernah minta uang kepada ibunya.

“Tidak tega saya minta uang kepada ibu, kondisinya sangat memprihatinkan. Bahkan untuk beli buku

paket saja saya tidak mampu,” urainya.

Nur Maulana kecil lalu belajar ilmu agama di Pesantren An-Nahdlah, Makassar. Menimba ilmu di

pesantren ini membangkitkan kembali cita-citanya untuk menjadi pendakwah.

“Saya belajar agama, dari pagi hingga malam. Saya menjalaninya dengan senang,” ucapnya.

Saat duduk di kelas 1 SMP, Nur Maulana memberanikan diri ceramah. Gaya berdakwahnya seperti itu

sempat dipandang sebelah mata teman-temannya. Awalnya ceramah di lingkungan pesantren,

kemudian merambah ke acara syukuran, bahkan dari desa ke desa terpencil.

“Dari dulu, gaya ceramah saya seperti ini. Suka memperagakan suatu cerita dengan gerakan-gerakan

lucu. Saat mengajar di TK, SD, dan SMP, gaya saya seperti sedang ceramah. Makanya anak-anak senang

kalau saya mempraktikkan sesuatu dengan gerakan. Misalnya gerakan nenek tua yang jalan atau cara

ibu memberi perhatian pada anakanaknya,” urainya.

Gaya berceramah Nur Maulana ini saat itu juga sudah mengundang protes. Saat ceramah di suatu

masjid, dia dihampiri seseorang yang melontarkan protes.

“Saya jelaskan kepadanya, gaya saya memang seperti itu. Tapi saya senang, akhirnya mereka bisa

menerima materi ceramah saya, bahkan sempat tertawa,” ucapnya.

Bentuk protes lain berupa pengempisan ban motor dan busi motornya diambil. Dia terpaksa mendorong

motor hingga puluhan kilometer. Itu belum seberapa dibanding pengalamannya saat masih SMA. Usai

sekolah, sorenya dia mengajar anak-anak SMP. Setelah maghrib, dia lanjut berdakwah ke pelosok desa-

desa terpencil, yang hanya bisa ditempuh dengan bersepeda atau jalan kaki.

“Saya pernah ceramah, jaraknya jauh sekali dan harus jalan kaki. Makin sedih saat musim hujan. Walau

sudah pakai payung, tetap saja baju basah,” kenangnya.

Untuk menempuh jarak puluhan kilometer itu, dia juga pernah menumpang truk terbuka. Sering kali, dia

tidak mendapat uang transportasi. Namun itu bukan tujuan utamanya; dia senang berbagi ilmu.

Kalaupun dipaksa menerima bayaran atau amplop usai ceramah, akan diberikan kepada ibunya. Hal itu

berlaku hingga kini.

“Dari tahun 1988 hingga 2000, semua amplop yang saya terima saya serahkan kepada Ibu. Tahun 2000

hingga 2008, uang yang ada di dalam amplop dibagi dua, untuk ibu dan cicilan motor saya. Dari 2008

hingga kini dibagi 3, untuk Ibu, istri saya, dan saya. Saya juga tidak mau tahu nominalnya. Saya lakukan

hal itu karena saya ikhlas dalam mensyiarkan agama,” urai Nur Maulana, yang juga menyelingi

wawancara ini dengan gurauan.

Sumber : http://ahmadsudaisih.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar